Menurut mantan Wali Kota Istanbul ini, kudeta militer yang menewaskan lebih dari 250 orang tersebut merupakan ulah sebagian kecil pasukan militer yang berusaha menguasai masyarakat mayoritas di Turki.
Kesalahan juga dia limpahkan kepada Fetullah Gulen (75) yang kini berdiam di Pennsylvania, Amerika Serikat. Minoritas dalam angkatan bersenjata Turki itu ditudingnya merupakan para antek setia ulama kharismatik pendiri gerakan Hizmet tersebut.
“Sangat jelas bahwa mereka adalah kelompok minoritas. Kita tidak bisa membiarkan minoritas mendominasi mayoritas. Kami sudah mengambil sejumlah langkah yang signifikan untuk mencegah kudeta semacam itu terjadi lagi,” ujarnya, seperti dikutip dari APA, Kamis (21/7/2016).
Erdogan bersyukur, upaya pemakzulan dirinya itu berhasil digagalkan. Rakyat pun berbalik semakin mencintai dan berusaha melindungi dia. Mengetahui bahwa ada marabahaya di dalam negerinya yang bukan berasal dari pemerintah.
“Selama kita saling bahu-membahu dan berada di pihak rakyat, tank-tank sekalipun tidak akan bisa mengalahkan kita,” jelasnya dalam wawancara eksklusif dengan Al Jazeera.
Kudeta militer tersebut terjadi saat Erdogan tengah berlibur. Mendengar kabar tersebut, orang nomor satu di Turki itu segera pulang ke Istanbul. Sementara itu, dua kota utama di Turki, yakni Ankara dan Istanbul telah dikuasai militer.
Bom Marmaris yang menjadi penginapan terakhir Erdogan sebelum meninggalkan liburannya juga dibom. Dalam perjalanan pulang, dikabarkan pesawat yang membawa dia juga sempat dibidik dua jet tempur F-16.
Pasca-kudeta, pasukan yang terlibat telah ditahan, ditelanjangi, dan diikat. Mereka bahkan tengah menunggu putusan hukuman mati jadi atau tidak. Dampaknya juga berimbas kepada pemecatan dan penangguhan jabatan terhadap puluhan ribu pegawai negeri sipil, guru, hakim, pejabat, dan staf di sejumlah kementerian yang dianggap tidak setia pada Erdogan. Sumber: okezone.com
EmoticonEmoticon